Kisah inspiratif:
Sebuah warung menjual makanan di Semarang ini punya terobosan unik. Pemiliknya, Suyatmi (42) dan Sarimin (54), membolehkan pelanggannya membayar makanan dengan sampah plastik.
Warga Kota Semarang, Jawa Tengah itu membuka warung di Kawasan Tempat Pembuangan Ankhir (TPA) Jatibarang. Dibantu oleh pihak pengelola TPA Jatibarang, Suyatmi dan suaminya memanfaatkan warungnya bagi para pengepul atau pemulung memburu plastik di area Kota Semarang. Padahal, saat ini pemerintah getol mengurangi sampah plastik.
Cara berjualan dilakukan oleh pasutri itu tergolong unik. Setiap pembeli makanan atau minuman di kantinnya diwajibkan membawa sampah plastik.
"Setiap kilonya plastik tersebut ditimbang, dan dihargai di sini perkilonya Rp 400. Jika mereka sekali makan minimal harus membawa 20 kilogram sampah plastik, karena sekali makan mereka menghabiskan uang antara Rp 6000 sampai Rp 8000," kata Suyatmi saat ditemui di warungnya, Senin (14/3).
Suyatmi mengatakan, sampah plastik bisa ditukarkan di warung miliknya hanya jenis sampah plastik bisa didaur ulang. Beberapa sampah plastik itu adalah gelas plastik dan botol bekas air mineral, tas plastik bekas, dan sejenisnya.
"Jika ada selisih antara hasil timbangan plastik yang mereka bawa ke sini dan harga pembelian makanan, maka sisa atau selisih nilai uangnya secara otomatis dianggap sebagai tabungan mereka (pembeli) di sini," ujar Suyatmi.
Suami Suyatmi, Sarimin, menyatakan inisiatif mendirikan warung bernama 'Kantin Gas Metana' sejak dua bulan lalu, atau tepat pada 1 Januari 2016. Mereka juga tinggal di warung itu.
"Awalnya, saya jualan makanan di sini sudah selama satu tahun. Makanannya khusus bagi para teman-teman pemulung dan pekerja di Kawasan TPA Jatibarang. Namun, karena para pemulung yang tidak pasti memiliki uang kerap berutang di warung. Dari situ saya mikir, mereka sering utang makan karena sampah yang dikumpulkan belum menghasilkan uang. Akhirnya saya minta mereka bayar pakai plastik saja," kata Sarimin yang asli Rembang, Jawa Tengah.
Sistem pembayaran dengan menggunakan sampah plastik ini, menurut Sarimin, ternyata membawa keuntungan tersendiri.
"Setiap satu kilogram plastik yang dibeli seharga Rp 400 biasanya saya jual kepada pengepul sampah seharga Rp 500. Sehari kami bisa dapat 2 kwintal plastik yang dikumpulkan 20 pemulung. Biasanya kalau sudah saya dapat satu sampai dua ton lalu diangkut. Saya untung dari plastik dan dagangan nasi," ujar bapak dua anak ini.
Ada keuntungan lain didapat Sarimin dan Suyatmi. Mereka juga memanfaatkan gas metana (CH4) atau biogas diproduksi dari sampah-sampah di TPA Jatibarang secara gratis.
"Bahan bakar gas dari sampah kami jadikan sebagai pengganti gas elpiji. Bisa kami gunakan secara gratis untuk memasak bahan makanan yang kami jual di warung. Seperti memasak nasi, lauk pauk, gorengan hingga merebus air," ucap Sarimin.
Selama dua bulan berdagang makanan, keduanya mengaku tidak pernah merugi. Bahkan dalam sebulan, pasutri ini bisa mengantongi keuntungan rata-rata antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta rupiah.
Warga Kota Semarang, Jawa Tengah itu membuka warung di Kawasan Tempat Pembuangan Ankhir (TPA) Jatibarang. Dibantu oleh pihak pengelola TPA Jatibarang, Suyatmi dan suaminya memanfaatkan warungnya bagi para pengepul atau pemulung memburu plastik di area Kota Semarang. Padahal, saat ini pemerintah getol mengurangi sampah plastik.
Cara berjualan dilakukan oleh pasutri itu tergolong unik. Setiap pembeli makanan atau minuman di kantinnya diwajibkan membawa sampah plastik.
"Setiap kilonya plastik tersebut ditimbang, dan dihargai di sini perkilonya Rp 400. Jika mereka sekali makan minimal harus membawa 20 kilogram sampah plastik, karena sekali makan mereka menghabiskan uang antara Rp 6000 sampai Rp 8000," kata Suyatmi saat ditemui di warungnya, Senin (14/3).
Suyatmi mengatakan, sampah plastik bisa ditukarkan di warung miliknya hanya jenis sampah plastik bisa didaur ulang. Beberapa sampah plastik itu adalah gelas plastik dan botol bekas air mineral, tas plastik bekas, dan sejenisnya.
"Jika ada selisih antara hasil timbangan plastik yang mereka bawa ke sini dan harga pembelian makanan, maka sisa atau selisih nilai uangnya secara otomatis dianggap sebagai tabungan mereka (pembeli) di sini," ujar Suyatmi.
Suami Suyatmi, Sarimin, menyatakan inisiatif mendirikan warung bernama 'Kantin Gas Metana' sejak dua bulan lalu, atau tepat pada 1 Januari 2016. Mereka juga tinggal di warung itu.
"Awalnya, saya jualan makanan di sini sudah selama satu tahun. Makanannya khusus bagi para teman-teman pemulung dan pekerja di Kawasan TPA Jatibarang. Namun, karena para pemulung yang tidak pasti memiliki uang kerap berutang di warung. Dari situ saya mikir, mereka sering utang makan karena sampah yang dikumpulkan belum menghasilkan uang. Akhirnya saya minta mereka bayar pakai plastik saja," kata Sarimin yang asli Rembang, Jawa Tengah.
Sistem pembayaran dengan menggunakan sampah plastik ini, menurut Sarimin, ternyata membawa keuntungan tersendiri.
"Setiap satu kilogram plastik yang dibeli seharga Rp 400 biasanya saya jual kepada pengepul sampah seharga Rp 500. Sehari kami bisa dapat 2 kwintal plastik yang dikumpulkan 20 pemulung. Biasanya kalau sudah saya dapat satu sampai dua ton lalu diangkut. Saya untung dari plastik dan dagangan nasi," ujar bapak dua anak ini.
Ada keuntungan lain didapat Sarimin dan Suyatmi. Mereka juga memanfaatkan gas metana (CH4) atau biogas diproduksi dari sampah-sampah di TPA Jatibarang secara gratis.
"Bahan bakar gas dari sampah kami jadikan sebagai pengganti gas elpiji. Bisa kami gunakan secara gratis untuk memasak bahan makanan yang kami jual di warung. Seperti memasak nasi, lauk pauk, gorengan hingga merebus air," ucap Sarimin.
Selama dua bulan berdagang makanan, keduanya mengaku tidak pernah merugi. Bahkan dalam sebulan, pasutri ini bisa mengantongi keuntungan rata-rata antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta rupiah.
0 komentar:
Post a Comment